IT'S ME

My photo
Simple. Follow my twitter @sherlockiazi Sankyou ^^v

Monday, November 10, 2014

Terima Kasih Para Pahlawanku

            Tepat hari ini 10 November, diperingatinya hari Pahlawan. Pah-la-wan, apa itu? Seperti apa sosok pahlawan? Bagaimana bisa seorang yang tidak kita ketahui bagai mana track record-nya, tanpa melihat secara langsung dengan mata kepala kita sendiri, yang kita hanya bisa dengar dari orang tua kita, guru, kepala sekolah, dosen, teman, bahkan media massa bisa menjadi seorang pahlawan. Dulu. Pahlawan itu berjuang membela negeri ini, melawan pajajah, memberantas penjajah, mengusir penjajah, hingga Negara ini “Merdeka”. Oke, bukan hingga merdeka, tapi hingga memiliki status “Merdeka”. Mengapa status? Jangan mulai dari pemikiranku, diluar sana masih banyak orang lain yang mengganggap bahwa Negara ini memang belum merdeka kok.
Masih dijajah oleh kemiskinan, mengkayakan dan menyelamatkan diri sendiri dan keluarga, subsidi hanyalah kesenangan sementara, kabar gembira sepintas, seperti iklan-iklan ekstrak di televisi masa kini. Sengketa tanah saja diributkan, padahal para pahlawan berebut tanah dengan penjajah, jaman sekarang dengan tetangga sendiri. Gila! Jadi apa yang bisa mempersatukan Negara ini?
Sepertinya aku tau. Hal-hal merugikan, jahat dan negatif yang bisa mempersatukan negeri ini. Merokok bisa buat otang berkomunikasi, akrab hanya dengan meminjam korek, membakar sampah dan menghisap asapnya ke dalam tubuh mereka. Penjual sabu atau narkoba, bisa memiliki banyak link, bahkan sampai tingkat internasional. Maling motor, bukan, orang yang main hakim sendiri mukulin maling motor sampai babak belur bahkan sampai maling itu hilang nyawa, satu RT bisa bersatu. Jangan lihat karna dia maling jadi wajar sampai babak belur, tapi warga sudah menghilangkan nyawa seseorang, membuat mati, mereka bersatu untuk membunuh. Padahal tak jarang orang-orang dalam satu RT itu di belakang saling membicarakan sikap si A seperti ini, si B uangnya haram, yang ini begini yang itu begitu.
Rintik air dari atap bumi menyentuh lantainya. Mungkin banyaknya tetesan air hujan ini tidak bisa menggambarkan perasaan beliau. Para Veteran. Yang kita lihat di media itu mungkin hanya segelintiran saja, bahkan mereka yang ada di media pun hanya di undang pada tanggal-tanggal merah nasional. Bagaimana dengan yang lain? Yang tidak terlihat, tidak diliput, tidak diketahui tinggal dimana, di hutan, pelosok Indonesia atau sudah di alam yang berbeda. Mereka yang berjuang, berperang melawan penjajah, entah bagaimana keberadaan keluarganya, rumahnya seperti apa, tidak mereka pikirkan, yang terpenting adalah membela negri ini. Setelah penjajah itu berhasil diusir dari sini, mereka pulang dengan semangat, senang, haru, bangga membawa kemenangan untuk negara, istri, anak, cucu, cicitnya di masa yang akan datang. Tapi perubahan nasib tidaklah datang juga.
Sampai akhirnya datanglah penjajah yang bertopeng, bermuka dua, tidak, seribu, penjajah yang berasal dari negeri sendiri. Seperti pada film-film agen rahasia, orang yang bisa menyusup menjadi siapapun tanpa ada orang yang tau identitas asli, tujuan dan maksudnya apa. Tapi dia memiliki “misi”.
Sangat nyata aku lihat saat veteran bernama Shigeru Ono tentara asli Jepang yang memilih tinggal di Indonesia dan berjuang bersama rakyat Indonesia untuk mengusir para penjajah. Pada satu kesempatan beliau bilang sangat sedih melihat kondisi Indonesia saat ini. Hampir setiap hari orang masuk ke penjara karena kasus korupsi, satu keluarga mengkayakan diri untuk membuat dinasti sementara para veteran mati. Bukan hanya mati fisik tapi mati juga harapan mereka. Bahkan bapak Shigeru Ono bilang seperti ini
“Saya merasa sedih melihat Indonesia sekarang. Dulu kami semua bertempur mati-matian. Sekarang korupsi dimana-mana, saya merasa perjuangan saya dan kawan-kawan pada masa penjajahan itu jadi sia-sia”.
Ingatkah.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya”.
Bangsa seperti apa Indonesia ini ketika sebuah bangsa sudah membuat salah satu pahlawan merasa perjuangannya sia-sia. Ini baru yang diliput, yang diketahui keberadaannya. Bagaimana yang tidak, sebanyak apa yang tidak diketahui keberadaannya. Pikirkanlah sendiri.


========================= Surat Untuk Pahlawan ========================

Pahlawanku, terima kasih untuk jerih payahmu. Membela negeri ini, melindungi negeri ini. Mengusir para penjajah sehingga mereka tidak kembali lagi. Setidaknya kondisi saat ini sudah tidak perlu adanya pertumpahan darah. Terima kasih atas perjuanganmu untuk kami, orang yang tidak tau bagaimana caranya membalas jasa-jasamu. Kau dulu yang berjuang, kami sekarang yang menikmati. Tak banyak yang bisa kami perbuat, mengurusi para pelaku korupsi pun terlalu banyak. Seakan-akan tiada habisnya.

Kau dulu 25 jam non stop memikirkan akan diserang atau menyerang. Hari ini orang-orang hanya bisa menulis ucapannya di social media, seakan-akan mereka menghargai kalian, padahal hanya ingin terlihat peduli oleh teman, gebetan , calon gebetan. Tidak ada action. Oh, aku lupa, ada action dari mereka, mengetikkan #SelamatHariPahlawan hingga menjadi Trending Topic World Wide.

Maafkan kami yang tidak bisa ikut berjuang bersamamu waktu dulu. Terima kasih dari seluruh hidupku saat ini, karena kau telah menfasilitasi kami dengan hidup tenang. Perjuanganmu tak akan kami sia-siakan.

Kami akan memajukan bangsa ini, melindas para tikus-tikus nakal dan menghapuskan rintihan kemiskinan. Akan kami buat Indonesia ini mandiri, hasil alam yang bisa kita olah sendiri, sumber daya manusia yang dapat kami maksimalkan sehingga semua warga Indonesia sejahtera tanpa terkecuali. Hingga akhirnya kami bisa merenovasi makammu yang keramiknya sudah retak atau bahkan hanya rata di atas tanah tanpa batu nisan. Terima kasih, para Pahlawanku.


Beberapa Waktu Sebelumnya

Sebelum pulang aku mengantar Dennis ke ruangan sepakbola, setelah itu aku pamit untuk pulang terlebih dahulu. Aku sempat duduk di depan ruangan itu untuk beristirahat setelah upacara dan di dalam ruangan aku melihat selusin bola, dispenser, madding kegiatan, loker anak-anak klub dan tepat di atas loker itu ada buku tulis, pajangan berbentuk bola dan juga TOA. 

Beberapa menit sebelum aku beranjak dari bangku warung itu untuk menolong anak SMA yang terjatuh, aku mengirimkan pesan kepada Dennis. Karna sedikit waktu yang aku punya, jadi isi pesannya seperti ini.
“Warung bawa TOA, fast!”
Setelah dipukuli oleh anak-anak itu, aku melihat Dennis tepat dibelakang tembok tikungan, puluhan meter di depan mataku. Tanpa harus aku intruksikan Dennis sudah bisa membaca situasi yang sedang terjadi. Kemudian dia menyalakan sirene yang ada pada TOA dan juga berbicara dengan sangat lantang, sehingga anak-anak berandalan itu langsung pergi ketakutan.
            Anak SMA ini dengan temannya hanya sedang berjalan melewati segerombolan anak-anak berandalan tadi. Ternyata sekumpulan anak-anak tadi sedang menunggu musuhnya yang lewat. Musuh disini mungkin maksudnya anak-anak SMA lain yang tawuran sama mereka. Tapi mereka salah sasaran, mereka sangka kedua anak tadi adalah anak SMA yang menjadi musuhnya. Pantas saja ketakutan, orang gak salah apa-apa kok tiba-tiba mau dipukulin. Apa begini pola pemuda jaman sekarang? Lebih baik ke masa-masa dulu, cupu, kuper, tapi damai, bahkan bersahabat.

            Setelah kejadian itu aku jadi berpikir, beginikah pola kehidupan pelajar, remaja, pemuda di negeri ini? Bukankah tingkatan seperti itu seharusnya bisa memberikan contoh yang baik, saling bergandeng tangan untuk menghadapi masa depan yang akan sangat berat untuk dihadapi karena adanya perekonomian global. Apa yang kita bisa berikan pada negeri ini?


Saturday, November 8, 2014

Sumpah Pemuda. Sudah Cukupkah?

            Memiliki teman-teman seperti mereka membuatku senang, mengapa? Karna mereka memiliki cita-citanya sendiri, mereka juga percaya akan mimpi-mimpi itu, yah sepenggal kata-kata dari sebuah novel yang kami baca membuat kami percaya bahwa setiap orang memiliki mimpi. “Percayalah pada mimpimu, maka Tuhan akan memeluk mimpi itu”. 
Dennis contohnya, sejak duduk dibangku sekolah dasar. Sudah beberapa kali mengikuti kejuaraan sepakbola dan dia selalu menjadi pemain terbaik dalam kejuaraan tersebut. Sampai saat ini duduk di kelas sebelas SMA pun memimpin klub sepakbola di sekolah kami. Kepiawaiannya memainkan bola di lapangan sudah ada sejak dia dalam kandungan, katanya, aneh? Kurasa tidak, itu salah satu cara Dennis memotivasi dirinya sendiri. Ada juga sepatu hitamnya yang diberi nama Shadow Launcher, itu juga bagian dari motivasi dirinya.
Satu Tanah Air. Satu Bangsa. Satu Bahasa… Indonesia. Minggu lalu kita sudah melewati hari sumpah pemuda. Dimana para pemuda kebanggaan negeri ini mengucapkan satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sebuah ikrar yang dianggap kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara ini, IN-DO-NE-SIA. Hari ini tidak ada yang begitu special selain upacara bendera. Mengapa harus upacara bendera setiap hari raya kebangsaan di negeri ini? Apa itu akan berpengaruh pada jiwa kita untuk lebih menghargai para pahlawan sedangkan siswa/siswi hanya mengeluhkan kegiatan ini kepada guru-guru mereka, atau bahkan kepada Sang Pencipta, “Aduh panas banget sih!”, “Udah upacara, berdiri pake panas segala lagi.”, itulah yang aku dengar saat berdiri di lapangan balaikota. Benar saja. Upacara tidaklah cukup.
Dennis masih di ruang sepakbola, Yuki dan Eca pulang duluan untuk mengerjakan tugas. Alhasil aku pulang sendiri saja. Aku berjalan menuju rumah dan tidak lupa menggunakan headphone. Ini sudah menjadi kebiasaanku. Terkadang aku membutuhkan ini untuk menikmati dunia ku sendiri, tanpa ada orang lain. Mendengarkan alunan musik yang sangat asik, tak peduli itu Pop, Rock, R & B, Dangdut, dalam kamusku hanya ada dua tipe lagu, asik dan tidak asik. Cuaca siang itu sangat panas hanya beberapa menit berjalan sudah membuatku berkeringat. Aku pun membeli minum dan duduk sejenak di sebuah warung. Menikmati panasnya siang hari dan bisikan alam yang telah berubah. Sedang asiknya aku memainkan hape tiba-tiba terdengar suara orang berlari ke arahku.
“Woyyy, jangan lari lu! Wooyy…” Terdengar teriakan kencang dari belakangku dan dua orang berlari tak karuan. Dibelakangnya ada lima orang lain yang mengejar mereka, sepertinya mereka beda sekolah. Salah satu anak jatuh tepat di depan kelompok lain yang mengejarnya.
“Anak mana lu? Pasti anak SMA ****** kan?!”, kata salah satu orang yang mengejarnya. Meski aku tau sekolahnya dari bahu mereka, tapi aku tidak mau mencoreng sekolah mereka dalam tulisanku ini.
“Iya, tapi gue sama temen-teme…..”, belum selesai anak itu menjelaskan kelompok lain sudah ingin menghajarnya. Aku berlari menghampiri mereka dan mencari posisi yang enak untuk menghalau mereka agar tidak bentrok. Tak sempat mereka mendekat aku sudah berada di hadapan mereka berlima.
“Siapa lu? Temennya juga?”, Tanya salah satu dari mereka dengan wajah sok jagoan.
“Ha? Bukan”, jawabku sedikit tidak terdengar suara dia.
“Udahlah hajar aja, biar kapok, gak sok jadi pahlawan”, kata temanya.
“Ha? Diam saja kau” ku berikan senyum kepada mereka agar suasana mencair.
“Ha? Ha? Ha? Saja bisamu?!”, salah satu dari mereka mendekatiku dan memukul tepat diwajaku. Aku hanya diam tanpa membalas.
“Sudah? Puaskah kalian dengan melakukan hal yang sama sekali tidak bermanfaat seperti ini?”. Kataku dan mereka semua pun terdiam. “Tidakkah kalian tahu ini hari apa? Tepat hari ini semua pemuda Indonesia menyampaikan ikrarnya yang dinamakan Sumpah Pemuda. Mengapa kalian malah tawuran? Menyerang anak sekolah lain. Atau karna kalian berpikir ikrar itu hanya untuk para pemuda di jaman itu saja?”.
“Dasar Banyak omong!” mereka mulai marah dan menyerang kami berdua.
Aku tetap ada di depan dan berhasil menghindari beberapa pukulan mereka tanpa membalas karena aku tidak ingin mencoreng nama baik sekolahku. Dan tiba-tiba ada suara sirene polisi.
“Berhenti kalian semua”, terdengar suara lantang dibalik sirene tersebut.
Mereka berlima pun kaget dan segera lari menjauh dari kami agar tidak tertangkap polisi. Seseorang menghampiri ke arah kami berdua, dengan membawa sebuah alat pengeras suara yang akrab disebut TOA.
“Kau datang lama sekali”, kataku pada orang itu.
“Maaf, maaf tadi aku malas lari jadi telat sampai sini, hehe”, Dennis tersenyum tanpa memiliki rasa bersalah.


Monday, November 3, 2014

Atlit dan Temannya

Kami tiba di depan pintu rumah Salma. Kemudian mengetuk pintu. Tak lama kemudian pintu pun terbuka perlahan. Wajahnya masih terlihat menahan rasa sakit, dengan senyum yang tenang menyambut kami berlima yang menjenguk ke rumahnya. Dengan kondisinya yang sudah mulai membaik membuatnya sudah bisa beraktivitas meskipun belum sepenuhnya pulih. Kakinya masih menggunakan perban sebagai penahan agar sendinya tidak bergeser lagi.
“Eh kalian, ayo silahkan masuk” Sapa Salma dengan ramah.
“Iya makasih Sal. Oya ini kami bawakan buah untukmu, semoga dengan buah dari kami berlima bisa membuatmu kembali ke sekolah ya.” Kataku.
“Aamiin, terima kasih atas doanya. Bagaimana kalian bisa tau jika aku sedang sakit? Padahal kemarin aku masih tidak boleh terlalu banyak bergerak, makanya aku belum sempat memberitahu kalian”.
“Oh, masalah itu, aku nonton pertandinganmu saat hari minggu Sal. Aku juga lihat bagaimana lawanmu dengan sengaja menginjak kakimu sehingga kamu cidera seperti ini.” Dennis menjelaskan, “Padahal seharusnya kamu bisa menang telak dipertandingan itu Sal.” lanjut Dennis.
“Yah, mau bagaimana lagi, mungkin memang aku yang lemah.” kata Salma.
“Tapi kamu gak kenapa-kenapa kan Sal? Berapa hari sampai kamu benar-benar pulih?” tanya Retha.
“Alhamdulillah, gapapa kok Re, hanya sendi kakiku bergeser saja. Kata dokter sih besok lusa juga udah boleh masuk sekolah. Tapi kalo dipikir-pikir aku menang karena lawanku didiskualifikasi, dan aku tak bisa apa-apa, aku lemah.” Kata Salma menunduk pesimis.
“Jangan ngomong seperti itu Sal, aku percaya kamu sudah bertanding semaksimal mungkin.” Retha mencoba menenangkan.
“Tapi memang begitu Re, aku tidak bisa apa-apa, mendapatkan emas karna menang didiskualifikasi? Apa yang harus dibanggakan?”
Salma pun menangis karna menyesali apa yang terjadi padanya. Salma hebat dalam bertanding, memiliki sabuk merah membuat banyak laki-laki yang tak mau mencari masalah dengannya. Tapi hanya satu kekurangan dia. Mentalnya lemah. Dia belum siap mengalami kekalahan, dia masih suka menyalahkan dirinya sendiri yang padahal itu bukan sepenuhnya kesalahannya.
“Udahlah Sal, gak boleh kaya gini, kamu udah punya kemampuan yang bagus, tinggal mental kamu yang belum kuat. Namanya pertandingan pasti ada yang menang dan ada juga yang kalah, itu hal biasa. Apalagi pertandingan beladiri, cidera juga biasa.” kata Eca yang sama-sama mengikuti beladiri.
“Iya, yang penting kamu udah ngeluarin kemampuan kamu semaksimal mungkin, berpikirlah positif, gak ada untungnya juga berpikir dari sudut pandang yang negatif, bikin cape sendiri.” Dennis ikut memberi support, dan kami berempat pun memegang pundak Salma diikuti dengan Retha.
“Terima kasih untuk kalian semua, aku akan berusaha lebih keras lagi.” Salma termotivasi dengan dukungan kami dan dia pun memperlihatkan senyumnya.
"Itulah gunanya teman Sal", Saut Yuki.
Kami menbicarakan hal-hal yang seru, untuk meringankan beban pikiran Salma atas cidera yang dialaminya. Mulai dari cerita-cerita kecil sampai kejadian di sekolah selama Salma tidak masuk. Tak lupa juga menceritakan apa yang terjadi diperjalanan menuju rumahnya.
Setelah satu jam kami dirumah Salma, kami pun bergegas pulang karena tidak mau mengganggu terlalu lama waktu istirahatnya.
“Ham gimana videonya? Direkam kan?” tanya Eca bersemangat.
“Oh iya, ini Ca, ngomong-ngomong buat apa direkam?” tanyaku kebingungan.
“Bukan buat apa-apa kok. Cuma sekedar bahan evaluasi latihan aja, lagian bentar lagi ada kejuaraan juga nih, semoga aku lulus seleksi.” Eca senang dan memunculkan tawa kecilnya.
“Jadi tadi itu sekalian latihan?” kataku.
“Iyalah Ham, hahaha.” Eca sangat puas setelah melihat video tersebut.


Who they are?

“Siapa mereka?”, sepenggal kata terdengar dari perempuan yang sedang kami selamatkan dari beberapa pengamen jalanan tidak bermoral yang berada di daerah belakang terminal. Mereka meminta uang secara paksa dan juga mengeluarkan ancaman-ancaman kotor kepada perempuan tak berdaya itu. Temanku yang sedang menghadapi kedua pengamen itu adalah Eca. Tubuh tegap berisi, dengan rambutnya yang rapi, mengenakan kacamata, Eca adalah yang ahli beladiri dari tim kami, dia berasal dari salah satu perguruan silat terkenal di Indonesia. Tiga lainnya sedang berada di dekat perempuan itu. Dennis, berkacamata minus dua, rambutnya berponi kearah kanan, dan dia satu-satunya kutu buku dari kami berempat, sedang berusaha menenangkan si korban yang masih ketakutan. Satu temanku yang lain sangat menyukai sepakbola, dia Yuki, si kidal dari tim kami, rambut jambulnya yang khas, juga kakinya yang kuat mengenakan sepatu berwarna hitam kesanyangannya yang diberi nama Shadow Launcher.
Berdiri tegap, mata berwarna coklat sedang memandang dengan tajam kedepan seakan-akan menembus semua yang menghalangi, dengan gaya rambut yang tidak beraturan sedang merekam apa yang terjadi di depan mata dengan gadget yang ada di tangannya, itu aku, Arham. Aku merekam kejadian ini atas permintaan Eca sebelum mengambil keputusan untuk bertempur di medan perang. “Ham, tolong rekamin ya”. Aku tidak tau jelas untuk apa, itu sudah menjadi permintaannya, yasudah aku turuti saja.
Aku memperhatikan perkelahian itu, sesekali Eca memukul pengamen itu, tidak tinggal diam pengamen itu menahan beberapa pukulan dari Eca. Pengamen itu membalasnya dengan tendangan yang membabi buta, pengamen yang lain juga menggunakan gitarnya untuk memukul Eca. Lalu Eca menghindar dari serangan gitar itu lalu memberikan tendangan tepat di ulu hati pengamen tersebut sehingga pengamen itu mengalami sesak nafas. Melihat temannya sudah tumbang, para pengamen itu pun langsung melarikan diri dan berlari masuk ke arah gang kecil.
“Kamu bukannya Machereta dari kelas 11 IPS 2 ya? Kalo tidak salah kamu juga baru masuk ekskul sepakbola kan?” Kata Yuki.
“Iya, tapi panggil saja aku Retha. Aku baru saja masuk ekskul sepakbola untuk menjadi asisten manager yang baru.” Jawab Retha. 
“Kamu  sudah lebih baik kan?” tanya Dennis masih menenangkan Retha.
“Iya terimakasih, terimakasih semuanya sudah menolongku.” jawab Retha masih sedikit ketakutan. “Ngomong-ngomong kalian sedang apa lewat sini?”
“Oh soal itu kami sedang berjalan menuju rumah teman kami yang sedang sakit, kebetulan rumahnya melewati jalan ini juga.” Jawab Dennis. “Kamu sendiri kenapa lewat jalan sepi begini?”.
“Aku memang biasa lewat jalan ini, tapi hari ini temanku tidak masuk sekolah, makanya aku pulang sendirian. Mungkin hanya kebetulan saja bertemu preman-preman tadi, mungkin ini bukan hari keberuntunganku,” Retha menjelaskan, “Ngomong-ngomong siapa kalian?”.
“Aku Dennis, Dennis Saputra kelas 11 IPA 1,” Dennis melepaskan sepatunya, “dan ini Shadow Launcher, sepatu hebatku”.
“Aku Zainal Yuki, panggilanku Yuki, aku berasal dari kelas 11 IPS 1.” Tersenyum.
“Aku Ryan Fahreza, biar gak mainstream panggil saja aku Eca dari kelas 11 IPS 1.” Menggaruk garuk kepala.
“Aku Arham Zulmi, panggil saja aku Arham dari kelas 11 IPA 4,” kataku sambil tertawa, “Kami berempat sudah bersahabat sejak kelas 10, salah satu alasan kami bersahabat adalah ingin membantu siapa pun yang sedang mengalami kesulitan,” kataku bersemangat, “Kami akan selalu menolong mereka yang membutuhkan, memecahkan masalah-masalah mereka dan kami akan menghapuskan kejahatan dari dunia ini!!! Ha ha ha ha…” Penyakitku mulai kambuh.
“Haha, maaf maaf, Arham memang suka berlebihan.” Kata Dennis.
“Kami adalah….”, kataku sangat bersemangat dan berhenti sejenak, “Troubleshoot-Team!” Serentak kami berempat, itulah nama yang kami bicarakan di jalan sebelum bertemu Retha.
“Yasudah sekarang kita pergi bersama saja agar tidak ada yang ganggu kamu lagi Retha, lagian sepertinya kita satu arah.” Kata Yuki.
“Iya, sepertinya itu akan lebih baik.” Jawab Retha sambil tersunyum kepada kami semua.
Kami berlima pun berjalan melewati terminal itu untuk menuju tujuan kami masing-masing. Hari semakin panas, pohon-pohon yang sudah mulai sedikit di kota menambah panasnya siang ini. Ku rindu pada kotaku yang dulu yang masih sejuk karena banyaknya pepohonan serta perkebunan di depan rumah warga.
“Oya kalo boleh tau siapa temanmu yang biasanya pulang bersamamu?” Tanya Eca.
“Oh, namanya Salma, sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah, dan aku tidak tau kenapa seperti itu karena dia belum mengabariku.” Jelas Retha.
“Salma? Bukannya kita mau ke rumahnya ya Ham?” Dennis bertanya padaku.
“Iya benar, kami berempat mau kerumahnya Re, kami semua sekelas dengannya saat masih kelas 10.”
“Oh ya? Kenapa dia? Apakah dia sedang sakit?” tanya Retha sedikit khawatir.
“Iya, dia mengalami cidera di pergelangan kaki saat bertanding pada kejuaraan taekwondo hari minggu Re. Saat itu sudah babak ketiga dengan skor 1 – 1, ketika Salma mencoba menendang dengan punggung kakinya ternyata tidak mengenai lawan, dan saat kakinya mendarat di matras, kakinya diinjak oleh lawannya dengan sengaja. Lawannya didiskualifikasi, meskipun menang tapi Salma mengalami cidera yang cukup serius, sehingga dia tidak dapat melanjutkan pertandingan.” Dennis menjelaskan kejadiannya secara detail, kebetulan dia menonton pertandingan itu bersama teman sekelasnya.
“Kasihan sekali dia,” kata Retha sedikit lemas, “kalo begitu boleh ga aku ikut dengan kalian untuk menjenguk Salma?”.
“Waaaahh, itu sih boleh sekali, jarang-jarang kami jalan bersama perempuan cantik sepertimu.” Kata Eca sangat antusias.
“Bagaimana kalo kita ke supermarket terlebih dahulu, membeli buah untuk Salma, sekalian beli minum juga, sepertinya kalian semua kehausan.” Ajak Yuki.
“Okeeey!!” Kami bertiga bersorak karena memang itu yang kami rasakan, panas. Tapi lain halnya dengan Retha, dia sangat kebingungan saat kami seperti itu.
“Kenapa Re? aneh ya? Hahaha,” Tanya Yuki, “Maklumi saja ya Re, mereka memang aneh dan selalu seperti itu.”
“Hey hey, seperti kau tak pernah saja Yuki.” Kataku mengejek Yuki.
“Ah tidak apa-apa, kalian semua sepertinya selalu senang.” Jawab Retha sambil tersenyum manis.
Kami berlima bergegas ke supermarket terdekat untuk membeli buah, sekedar buah beberapa kilogram saja seperti apel atau jeruk karena tidak enak rasanya bila menjenguk seseorang tetapi hanya membawa tubuh saja, atau ini hanya tradisi sebuah.