Memiliki teman-teman seperti mereka membuatku senang,
mengapa? Karna mereka memiliki cita-citanya sendiri, mereka juga percaya akan
mimpi-mimpi itu, yah sepenggal kata-kata dari sebuah novel yang kami baca
membuat kami percaya bahwa setiap orang memiliki mimpi. “Percayalah pada
mimpimu, maka Tuhan akan memeluk mimpi itu”.
Dennis
contohnya, sejak duduk dibangku sekolah dasar. Sudah beberapa kali mengikuti
kejuaraan sepakbola dan dia selalu menjadi pemain terbaik dalam kejuaraan
tersebut. Sampai saat ini duduk di kelas sebelas SMA pun memimpin klub sepakbola
di sekolah kami. Kepiawaiannya memainkan bola di lapangan sudah ada sejak dia
dalam kandungan, katanya, aneh? Kurasa tidak, itu salah satu cara Dennis
memotivasi dirinya sendiri. Ada juga sepatu hitamnya yang diberi nama Shadow Launcher, itu juga bagian dari
motivasi dirinya.
Satu
Tanah Air. Satu Bangsa. Satu Bahasa… Indonesia. Minggu lalu kita sudah melewati hari sumpah pemuda. Dimana para pemuda kebanggaan negeri ini mengucapkan satu tonggak utama dalam
sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Sebuah ikrar yang dianggap kristalisasi
semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara ini, IN-DO-NE-SIA. Hari
ini tidak ada yang begitu special selain upacara bendera. Mengapa harus upacara
bendera setiap hari raya kebangsaan di negeri ini? Apa itu akan berpengaruh
pada jiwa kita untuk lebih menghargai para pahlawan sedangkan siswa/siswi hanya
mengeluhkan kegiatan ini kepada guru-guru mereka, atau bahkan kepada Sang
Pencipta, “Aduh panas banget sih!”, “Udah upacara, berdiri pake panas segala
lagi.”, itulah yang aku dengar saat berdiri di lapangan balaikota. Benar saja. Upacara
tidaklah cukup.
Dennis
masih di ruang sepakbola, Yuki dan Eca pulang duluan untuk mengerjakan tugas.
Alhasil aku pulang sendiri saja. Aku berjalan menuju rumah dan tidak lupa
menggunakan headphone. Ini sudah menjadi kebiasaanku. Terkadang aku membutuhkan
ini untuk menikmati dunia ku sendiri, tanpa ada orang lain. Mendengarkan alunan
musik yang sangat asik, tak peduli itu Pop, Rock, R & B, Dangdut, dalam
kamusku hanya ada dua tipe lagu, asik dan tidak asik. Cuaca siang itu sangat
panas hanya beberapa menit berjalan sudah membuatku berkeringat. Aku pun
membeli minum dan duduk sejenak di sebuah warung. Menikmati panasnya siang hari
dan bisikan alam yang telah berubah. Sedang asiknya aku memainkan hape
tiba-tiba terdengar suara orang berlari ke arahku.
“Woyyy,
jangan lari lu! Wooyy…” Terdengar teriakan kencang dari belakangku dan dua
orang berlari tak karuan. Dibelakangnya ada lima orang lain yang mengejar
mereka, sepertinya mereka beda sekolah. Salah satu anak jatuh tepat di depan
kelompok lain yang mengejarnya.
“Anak
mana lu? Pasti anak SMA ****** kan?!”, kata salah satu orang yang mengejarnya.
Meski aku tau sekolahnya dari bahu mereka, tapi aku tidak mau mencoreng sekolah
mereka dalam tulisanku ini.
“Iya,
tapi gue sama temen-teme…..”, belum selesai anak itu menjelaskan kelompok lain
sudah ingin menghajarnya. Aku berlari menghampiri mereka dan mencari posisi
yang enak untuk menghalau mereka agar tidak bentrok. Tak sempat mereka mendekat
aku sudah berada di hadapan mereka berlima.
“Siapa
lu? Temennya juga?”, Tanya salah satu dari mereka dengan wajah sok jagoan.
“Ha?
Bukan”, jawabku sedikit tidak terdengar suara dia.
“Udahlah
hajar aja, biar kapok, gak sok jadi pahlawan”, kata temanya.
“Ha?
Diam saja kau” ku berikan senyum kepada mereka agar suasana mencair.
“Ha?
Ha? Ha? Saja bisamu?!”, salah satu dari mereka mendekatiku dan memukul tepat
diwajaku. Aku hanya diam tanpa membalas.
“Sudah?
Puaskah kalian dengan melakukan hal yang sama sekali tidak bermanfaat seperti
ini?”. Kataku dan mereka semua pun terdiam. “Tidakkah kalian tahu ini hari apa?
Tepat hari ini semua pemuda Indonesia menyampaikan ikrarnya yang dinamakan
Sumpah Pemuda. Mengapa kalian malah tawuran? Menyerang anak sekolah lain. Atau
karna kalian berpikir ikrar itu hanya untuk para pemuda di jaman itu saja?”.
“Dasar
Banyak omong!” mereka mulai marah dan menyerang kami berdua.
Aku
tetap ada di depan dan berhasil menghindari beberapa pukulan mereka tanpa
membalas karena aku tidak ingin mencoreng nama baik sekolahku. Dan tiba-tiba
ada suara sirene polisi.
“Berhenti
kalian semua”, terdengar suara lantang dibalik sirene tersebut.
Mereka
berlima pun kaget dan segera lari menjauh dari kami agar tidak tertangkap
polisi. Seseorang menghampiri ke arah kami berdua, dengan membawa sebuah alat
pengeras suara yang akrab disebut TOA.
“Kau
datang lama sekali”, kataku pada orang itu.
“Maaf, maaf tadi aku
malas lari jadi telat sampai sini, hehe”, Dennis tersenyum tanpa memiliki rasa
bersalah.

No comments:
Post a Comment