“Siapa
mereka?”, sepenggal kata terdengar dari perempuan yang sedang kami selamatkan
dari beberapa pengamen jalanan tidak bermoral yang berada di daerah belakang
terminal. Mereka meminta uang secara paksa dan juga mengeluarkan
ancaman-ancaman kotor kepada perempuan tak berdaya itu. Temanku yang sedang
menghadapi kedua pengamen itu adalah Eca. Tubuh tegap berisi, dengan rambutnya
yang rapi, mengenakan kacamata, Eca adalah yang ahli beladiri dari tim kami,
dia berasal dari salah satu perguruan silat terkenal di Indonesia. Tiga lainnya
sedang berada di dekat perempuan itu. Dennis, berkacamata minus dua, rambutnya
berponi kearah kanan, dan dia satu-satunya kutu buku dari kami berempat, sedang
berusaha menenangkan si korban yang masih ketakutan. Satu temanku yang lain
sangat menyukai sepakbola, dia Yuki, si kidal dari tim kami, rambut jambulnya
yang khas, juga kakinya yang kuat mengenakan sepatu berwarna hitam kesanyangannya
yang diberi nama Shadow Launcher.
Berdiri
tegap, mata berwarna coklat sedang memandang dengan tajam kedepan seakan-akan
menembus semua yang menghalangi, dengan gaya rambut yang tidak beraturan sedang
merekam apa yang terjadi di depan mata dengan gadget yang ada di tangannya, itu
aku, Arham. Aku merekam kejadian ini atas permintaan Eca sebelum mengambil
keputusan untuk bertempur di medan perang. “Ham, tolong rekamin ya”. Aku tidak
tau jelas untuk apa, itu sudah menjadi permintaannya, yasudah aku turuti saja.
Aku
memperhatikan perkelahian itu, sesekali Eca memukul pengamen itu, tidak tinggal
diam pengamen itu menahan beberapa pukulan dari Eca. Pengamen itu membalasnya
dengan tendangan yang membabi buta, pengamen yang lain juga menggunakan
gitarnya untuk memukul Eca. Lalu Eca menghindar dari serangan gitar itu lalu
memberikan tendangan tepat di ulu hati pengamen tersebut sehingga pengamen itu
mengalami sesak nafas. Melihat temannya sudah tumbang, para pengamen itu pun
langsung melarikan diri dan berlari masuk ke arah gang kecil.
“Kamu
bukannya Machereta dari kelas 11 IPS 2 ya? Kalo tidak salah kamu juga baru
masuk ekskul sepakbola kan?” Kata Yuki.
“Iya,
tapi panggil saja aku Retha. Aku baru saja masuk ekskul sepakbola untuk menjadi
asisten manager yang baru.” Jawab Retha.
“Kamu
sudah lebih baik kan?” tanya Dennis masih
menenangkan Retha.
“Iya
terimakasih, terimakasih semuanya sudah menolongku.” jawab Retha masih sedikit
ketakutan. “Ngomong-ngomong kalian sedang apa lewat sini?”
“Oh
soal itu kami sedang berjalan menuju rumah teman kami yang sedang sakit,
kebetulan rumahnya melewati jalan ini juga.” Jawab Dennis. “Kamu sendiri kenapa
lewat jalan sepi begini?”.
“Aku
memang biasa lewat jalan ini, tapi hari ini temanku tidak masuk sekolah,
makanya aku pulang sendirian. Mungkin hanya kebetulan saja bertemu
preman-preman tadi, mungkin ini bukan hari keberuntunganku,” Retha menjelaskan,
“Ngomong-ngomong siapa kalian?”.
“Aku
Dennis, Dennis Saputra kelas 11 IPA 1,” Dennis melepaskan sepatunya, “dan ini Shadow Launcher, sepatu hebatku”.
“Aku
Zainal Yuki, panggilanku Yuki, aku berasal dari kelas 11 IPS 1.” Tersenyum.
“Aku
Ryan Fahreza, biar gak mainstream panggil saja aku Eca dari kelas 11 IPS 1.” Menggaruk
garuk kepala.
“Aku
Arham Zulmi, panggil saja aku Arham dari kelas 11 IPA 4,” kataku sambil
tertawa, “Kami berempat sudah bersahabat sejak kelas 10, salah satu alasan kami
bersahabat adalah ingin membantu siapa pun yang sedang mengalami kesulitan,”
kataku bersemangat, “Kami akan selalu menolong mereka yang membutuhkan,
memecahkan masalah-masalah mereka dan kami akan menghapuskan kejahatan dari
dunia ini!!! Ha ha ha ha…” Penyakitku mulai kambuh.
“Haha,
maaf maaf, Arham memang suka berlebihan.” Kata Dennis.
“Kami
adalah….”, kataku sangat bersemangat dan berhenti sejenak, “Troubleshoot-Team!” Serentak kami
berempat, itulah nama yang kami bicarakan di jalan sebelum bertemu Retha.
“Yasudah
sekarang kita pergi bersama saja agar tidak ada yang ganggu kamu lagi Retha,
lagian sepertinya kita satu arah.” Kata Yuki.
“Iya,
sepertinya itu akan lebih baik.” Jawab Retha sambil tersunyum kepada kami semua.
Kami berlima pun berjalan melewati terminal itu untuk menuju tujuan kami masing-masing. Hari semakin panas, pohon-pohon yang sudah mulai sedikit di kota menambah panasnya siang ini. Ku rindu pada kotaku yang dulu yang masih sejuk karena banyaknya pepohonan serta perkebunan di depan rumah warga.
“Oya kalo boleh tau siapa temanmu yang biasanya pulang bersamamu?” Tanya Eca.
“Oh, namanya Salma, sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah, dan aku tidak tau kenapa seperti itu karena dia belum mengabariku.” Jelas Retha.
“Salma? Bukannya kita mau ke rumahnya ya Ham?” Dennis bertanya padaku.
“Iya benar, kami berempat mau kerumahnya Re, kami semua sekelas dengannya saat masih kelas 10.”
“Oh ya? Kenapa dia? Apakah dia sedang sakit?” tanya Retha sedikit khawatir.
“Iya, dia mengalami cidera di pergelangan kaki saat bertanding pada kejuaraan taekwondo hari minggu Re. Saat itu sudah babak ketiga dengan skor 1 – 1, ketika Salma mencoba menendang dengan punggung kakinya ternyata tidak mengenai lawan, dan saat kakinya mendarat di matras, kakinya diinjak oleh lawannya dengan sengaja. Lawannya didiskualifikasi, meskipun menang tapi Salma mengalami cidera yang cukup serius, sehingga dia tidak dapat melanjutkan pertandingan.” Dennis menjelaskan kejadiannya secara detail, kebetulan dia menonton pertandingan itu bersama teman sekelasnya.
“Kasihan sekali dia,” kata Retha sedikit lemas, “kalo begitu boleh ga aku ikut dengan kalian untuk menjenguk Salma?”.
“Waaaahh, itu sih boleh sekali, jarang-jarang kami jalan bersama perempuan cantik sepertimu.” Kata Eca sangat antusias.
“Bagaimana kalo kita ke supermarket terlebih dahulu, membeli buah untuk Salma, sekalian beli minum juga, sepertinya kalian semua kehausan.” Ajak Yuki.
“Okeeey!!” Kami bertiga bersorak karena memang itu yang kami rasakan, panas. Tapi lain halnya dengan Retha, dia sangat kebingungan saat kami seperti itu.
“Kenapa Re? aneh ya? Hahaha,” Tanya Yuki, “Maklumi saja ya Re, mereka memang aneh dan selalu seperti itu.”
“Hey hey, seperti kau tak pernah saja Yuki.” Kataku mengejek Yuki.
“Ah tidak apa-apa, kalian semua sepertinya selalu senang.” Jawab Retha sambil tersenyum manis.
Kami berlima bergegas ke supermarket terdekat untuk membeli buah, sekedar buah beberapa kilogram saja seperti apel atau jeruk karena tidak enak rasanya bila menjenguk seseorang tetapi hanya membawa tubuh saja, atau ini hanya tradisi sebuah.

No comments:
Post a Comment